yeaaayyy !!! kegiatan EKC Nge-blog udah sampe di di
putaran ketiga, nah pada kali ini temanya yaitu Debut Book, jadi kita di
suruh nyari buku pertama yang langsung jadi best seller di awal
penerbitannya.
Novel Negeri 5 Menara adalah novel karya pertama Ahmad
Fuadi dan merupakan salah satu buku pertama dari trilogi novelnya. Novel
tersebut tergolong masih baru terbit, namun sudah masuk dalam jajaran best
seller pada tahun 2009 lalu. Ahmad Fuadi lahir tanggal 30 Desember 1972 di
Nagari Bayur, Maninjau, Sumatra Barat. Selain menjadi penulis novel, Ahmad
Fuadi juga menjalani profesi sebagai praktisi konservasi dan juga wartawan.
Ahmad Fuadi termasuk seorang yang punya motivasi tinggi dan pekerja
keras.
Pada novel ini mengisahkan Novel ini bercerita tentang
kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani
(PM) yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela
dunia.Mereka sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 sampai kelas 6. Kian
hari mereka semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk dibawah
menara pondok madani. Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka
sebagai Sahibul Menara.
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah
menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian
runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepak bola di sawah berlumpur dan tentu
mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam
melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur.
Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah
hati dia mengikuti perintah Ibunya, belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif
terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang
bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola
berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan
orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi
seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif
berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari
Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang
menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung
yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma
menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini
membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah
remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Kelebihan novel ini penggambaran ceritanya bagus,
bahasanya juga enak untuk dibaca, dan banyak hal-hal postif yang bisa kita
ambil dari novel ini.
Kekurangannya karena dari gue pribadi entah kenapa
kurang suka cerita beginian jadi rada ngebosenin bacanya gue buca ga nyampe
beres, tapi gue tau nih cerita sebenernya bagus ko, memotivasi gituu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar